Persoalan tentang perempuan merupakan persoalan yang
senantiasa aktual dan seringkali mengundang perdebatan panjang yang tak
berujung. Perempuan dan media massa memiliki kaitan yang erat dan saling
melengkapi. Perempuan dan media massa ibarat dua sisi mata yang tak dapat
dipisahkan. Banyak perempuan yang memanfaatkan jasa media massa untuk
meningkatkan popularitasnya, dan sebaliknya media massa pun memerlukan nuansa
yang khas dari seorang perempuan mulai dari karier dan jabatannya.
Dimana media menreflesikan dan memproyeksikan seluruh
tatanan nilai, sikap, harapan dan kekhawatiran serta keberhasilan suatu
masyarakat. Karena media adalah sebuah cermin realita dan pembentuk sebuah
realistis. Banyak majalah-majalah wanita yang beredar, rubrik wanita, dan radio
wanita pun kini sudah di perhitungkan untuk melesatnya media massa. Bahkan di
Indonesia pun majalah wanita menjadi kan posisi teratas sebagai “ratu” rumah
tangga. Namun tak banyak juga wanita yang di perlakukan buruk oleh sesama
jenisnya.
Jika dilihat dalam produksi media elektronik seperti
televisi, banyak sinetron yang menggambarkan wanita secara ekstrim dan tidak
stabil emosinya. Perempuan diperlihatkan sangat lemah, cengeng, tidak berdaya,
tapi jika “kuat” digambarkan cerewet, galak, agresif, sadis dan sebagainya.
Padahal wanita tidak seperti akting artis-artis diluar sana yang berperan
sebagai perempuan lemah. Namun jika dilihat dalam segi positifnya banyak
sinetron yang menggambarkan peran ganda wanita yang dapat mempengaruhi sikap
positif ibu-ibu terhadap peran publik.
Dengan pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini
cukup memberikan kemajuan yang signifikan. Media cetak maupun elektronik saling
bersaing kecepatan, sehingga tidak ayal sang pemburu berita dituntun kreativitasnya
dalam penyampaian informasi. Pengetahuan dasar jurnalistik merupakan modal yang
amat penting manakala terjun di dunia ini. Keberadaan media tidak terbatas
penyampaian informasi yang aktual kepada masyarakat, tetapi juga media
mempunyai tanggung jawab yang berat dalam menampilkan fakta-fakta untuk selalu
bertindak obyektif.
Seperti yang dikatakan Kepala Badan Pemberdayaan
Perempuan dan Keluarga Berencana Jabar Dr.Hj.Sri Kusumah Wardhani, SH,MH bahwa
banyak yang memposisikan perempuan sebagai objek dan cenderung mendiskreditkan
perempuan. Semua ini karena kepentingan rating dan kapitalisme. Para jurnalis
perempuan harus mulai berkiprah memperbaikinya. Masih banyak hal positif
tentang wanita yang bisa diekspos. Bukan sebaliknya malah mengeskploitasi aurat
perempuan.
Para jurnalis hendaknya dapat berperan di dalam
mentrasformasikan nilai-nilai sosial budaya yang masih patriarkis ditengah
masyarakat kita. mengapa demikian? karena kesetaraan gender dan pemenuhan hak
asasi manusia perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia yang sudah diatur
secara tegas di dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang ada di
bawahnya. Selain itu sudah banyak juga kemajuan yang dicapai perempuan sampai
saat ini, misalnya perempuan dan laki-laki sudah ikut berkiprah di berbagai
bidang pembangunan.
Namun dengan demikian, apabila kita melihat data yang
ada, masih banyak yang kita bicarakan mengenai akses dan partisipasi di bidang
politik dan pengambilan keputusan. Kesenjangan gender juga masih terjadi di
sektor kesehatan, hukum, dan pendidikan. Seperti yang telah kita ketahui
ketimpangan gender yang bergulir di tengah masyarakat Indonesia telah menelusup
ke setiap sendi-sendi kehidupan sosial, tak terkecuali dalam bidang
jurnalistik. Ranah penguasaan wacana public ini dianggap terlalu keras bagi
kaum perempuan yang fisiknya dianggap tidak mumpuni untuk melakukan pekerjaan
yang berat.
Hal ini sangat disayangkan, karena mengingat bahwa
banyak perempuan yang dianggap “tidak mampu sebelum berperang” dengan wacana
informasi publik. Padahal tidak jarang jika kita menilisik pemberitaan di media
massa, maka perempuan pun akan selalu hadir menjadi salah satu objek
penderitanya. Terlebih lagi pemberitaan media mengenai perempua terkadang
diangkat dari sisi yang tidak respontif gender sehingga tidak jarang perempuan
yang dieksploitasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Melihat itu semua, seperti apa yang diutarakan Yayu
Yuniar bahwa hal terpenting kita mengenali diri sejak dini dengan mengenali
diri sendiri, kita akan mampu mengambil tindakan apa yang pantas kita lakukan.
Karena dalam profesi apapun pelabelan menjadi tidak terlalu penting. Jelasnya,
kualitas kinerja setiap orang tidak dipengaruhi gender, tapi kembali kepada
keyakinan diri dan kemajuan individu masing-masing. Kita harus peduli karena
masih banyak perempuan yang kurang beruntung.
*Dea Maltita Azizah*